Minggu, 13 Juli 2014

Sebuah Naskah Monolog
Karya : Arifin C Noer



Setting :
Ruang tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat suatu keluarga yang tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, sebab lumayan pula penghasilan si pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang lumayan pula besarnya. Kasir kita itu bernama : Misbach Jazuli
Sandiwara ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab itu sangat sederhana sekali. Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita mulai pada suatu pagi. Mestinya pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat kasregisternya di kantornya, tapi pagi itu ia masih berada di ruang tengahnya, kelihatan lesu seperti wajahnya.
Tas sudah dijinjingnya dan ia sudah melangkah hendak pergi. Tapi urung lagi untuk yang kesekian kalinya. Dia bersiul sumbang untuk mengatasi kegelisahannya. Tapi tak berhasil.

Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan bahwa kelemahannya, maksud saya kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya; ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah.

Diletakkannya tasnya
Saya sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik sekali. Kecantikannya itulah yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila. Sungguh mati, saudara. Dia sangat cantik sekali. Sangat jarang Tuhan menciptakan perempuan cantik. Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya menyusahkan dunia. Luar biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya itu. Hampir-hampir saya sendiri tidak percaya bahwa dia itu istri saya.

Saya berani sumpah! Dulu sebelum dia menjadi istri saya tatkala saya bertemu pandang pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam hati : maulah saya meyobek telinga kiri saya dan saya berikan padanya sebagai mas kawin kalau suatu saat nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah. Kemauan Tuhan selamanya sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan surpraise.

Buktinya? Meskipun telinga saya masih utuh, toh saya telah berumah tangga dengan Supraba selama lima tahun lebih.
Aduh cantiknya.
Saya berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu akan tetap bidadari walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya hampir tidak percaya pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih sedemikian utuhnya. Caaaaannnnttiiik.
Ah kata cantikpun tak dapat pula untuk menyebutkan keajaibannya. Cobalah. Seandainya suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada diantara mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti memilih istri saya, biarpun saudara tahu bahwa dia seorang janda.

Lesu.
Ya, saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah kebodohan sejati dari seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak datang dalam kepala, tak mungkin saya akan sebodoh itu menceraikan perempuan ajaib itu.

Semua orang yang waras akan menyesali perbuatan saya, kecuali para koruptor, sebab mereka tak mampu lagi menyaksikan harmoni dalam hidup ini.
Padahal harmoni adalah keindahan itu sendiri. Dan istri saya, harmonis dalam segala hal. Sempurna.Menarik napas.
Bau parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala malam, seribu melati di suatu pagi. Segar, segar!
Telepon berdering.
Itu dia! Sebentar (ragu-ragu)
Selama seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya :”Sarapan apa kau, mas” Kemarin saya menjawab :”Nasi putih dengan goreng otak sapi”
Pagi ini saya akan menjawab .....

Mengangkat gagang telepon
Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo!
Meletakkan pesawat telepon
Salah sambung.
Gilaa! Saya marah sekali. Penelpon itu tak tahu perasaan sama sekali.
Tiba-tiba
Oh ya! Jam berapa sekarang?


0 komentar:

Posting Komentar