Senin, 05 April 2010


31Maret 2010,malam yang cerah diterangi cahaya alam,bulatnya purnama malam itu,teater SS Universitas Negeri Semarang mengadakan pentas bulan purnama di komplek Joglo Fakultas Ekonomi .Kegiatan ini kemudian dimuat di Harian Suara Merdeka edisi03 April 2010.
Mimpi Papa-Mama di Kepala Anak

* Oleh Achiar M Permana

RIK tercenung. Permintaan, atau lebih tepatnya, perintah papa-mamanya seperti teror yang menusuki kepalanya. Bayangkan, kedua orang tuanya merecoki tidur malam Rik, dengan mimpi-mimpi mereka. Rik dipaksa untuk bermimpi seperti keinginan orang tuanya.

’’Kau harus bermimpi menjadi dokter, Rik. Sebab, dokter adalah pahlawan pada masa yang akan datang,’’ perintah sang papa.

’’Kau harus menjadi astronot. Astronotlah pahlawan yang sesungguhnya di masa depan,’’ tukas sang mama.

Begitulah, gambaran orang tua yang mendikte anak, bahkan hingga ke mimpi-mimpinya, dipanggungkan oleh Teater SS Universitas Negeri Semarang (Unnes), Rabu (31/3) malam. Malam itu, lakon Mimpi-mimpi karya TB Kamaluddin tersebut dimainkan dua kali, di joglo kampus Sekaran, Gunungpati.
Lakon yang disutradarai Ratih Fajarwati itu dimainkan dalam rangkaian Pentas Bulan Purnama. Selain pementasan teater, perhelatan itu dimeriahkan pula dengan pembacaan puisi, musik, dan diskusi.

Di depan orang tuanya yang bersikeras memaksakan mimpi-mimpi mereka, Rik seperti menjadi boneka kaca yang tak berdaya. Rapuh dan gampang pecah. Seperti tak mau tahu, kedua orang tua itu terus saja meneror anaknya dengan mimpi mereka. ’’Tidak, Rik, kau harus bermimpi menjadi dokter, supaya bisa mengobati ketika ayahmu ini beranjak tua dan sakit-sakitan.’’
’’Tidak, Rik, tidak. Kau harus bermimpi menjadi astronot...’’
Ruang Permenungan Menonton kembali Mimpi-mimpi, bagi saya, seperti masuk dalam ruang permenungan. Kata kembali harus saya gunakan, mengingat sejak pertengahan 1990-an, entah sudah berapa kali lakon—yang dimainkan oleh kelompok teater berbeda—itu saya tonton. Sejak Teater 70 dari SMA 70 Jakarta memainkannya di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), pada 1996, lakon sarat pesan itu acapkali digarap oleh pelbagai kelompok teater di Semarang khususnya, dan Jawa Tengah umumnya.

Hebatnya, hampir satu setengah dekade berlalu, muatan di Mimpi-mimpi tetap saja terasa aktual. Setidaknya, lakon itu menjadi pengingat, betapa hingga kini masih banyak orang tua yang menjadi pendikte bagi kehidupan anak-anaknya.
Dan itu, membuat saya mengikhlaskan ’’kebocoran’’ yang bersifat teknis-teater, seperti akting yang flat, irama yang tak terjaga, atau setting, properti, ilustrasi, tata cahaya, dan ilustrasi musik yang nyaris tak tergarap.

Malam itu, persis pada malam Dies Natalis Ke-45 Unnes, para pegiat Teater SS yang sebagian di antaranya calon guru seperti tengah melakukan autokritik. Bahwa, mereka memiliki tanggung jawab untuk mengikis keberadaan para ’’teroris’’ berwajah papa-mama.